LENTERA
LENTERA
Ibu,
cinta dan kasih sayangmu seperti aliran darah dalam tubuhku yang memberikan
penghidupan kepada setiap organ-organ dalam tubuh ini untuk terus hidup. Dan doamu
seperti selimut, yang menyelimuti tubuh ini
Petang
itu, Saya menyelinap masuk ke kamar Ibu. Pandanganku terpaku ke arah ibu yang
waktu selesai sholat dan borda sambil mengangkat tangannya ke atas, dan bercerita
kepada Allah SWT, . “Ya Allah, tolong
jagalah anak-anak hamba, jauhkanla mereka dari segala perbuatan-perbuatan yang
Engkau benci, berilah kelapangan dalam berfikir, jadikanlah mereka anak-anak
yang berbakti kepada Agama, Orangtua
serta Negara dan lapangkah pintu rejekinya”.
Waktu
itu aku hanya bisa terdiam dan melamun mendengar perkatan demi perkataan yang
Ibu panjatkan kepada Allah dalam doanya dan tanpa di sadari air mataku jatuh
begitu saja.
Nama
ibuku adalah ibu Halimah, beliau sudah tidak muda lagi dengan umur lebih dari
40 th dan hampir menginjak 50 th, dengan rambut yang sudah mulai beruban, kulit
sudah mulai keriput. Dia adalah janda yang ditinggal mati oleh suaminya 12
tahun yang lalu, dengan memiliki 3 anak. Pekerjaan beliau adalah buruh di
pabrik kerupuk milik saudaranya. Ibuku memiliki 4 saudara perempuan. Ibuku
adalah anak yang terakhir, dan di tempat ibuku bekerja merupkan milik
saudaranya yang pertama.
Semenjak
beliau di tinggal mati suaminya, 12 tahun yang lalu, beliau tidak mau menikah
lagi, karna menurut beliau “Ibu sayang
sama kalian beritga, ibu tidak mau membagi rasa sayang ini sama suami ibu yang
baru dan Ibu mau menajdi Istri Ayahmu
dunia akhirat nak”.
Mendengar
hal itu aku hanya bisa tersenyum dan berlinang air mata. Sambil berkata dalam
hati “Tuhan terimakasih telah memberiku
Ibu sebaik Dia, jagalah Dia dan Kumpulkanlah kami kelak di surgamu”.
“Ada apa cah bagus ?”
Tiba-tiba
suara itu mengkagetkanku yang di tengah lamunanku, mendengar curhatan doa ibu.
Sontak
saya langsung menghampiri dan mencium tangannya, sambil berkata “Ibu maafkan dosa anak-anakmu ini”.
Beliau hanya membalasnya dengan senyum yang ikhlas.
Panggil
adik-adikmu dan kakek untuk makan. Setelah makan kita siap-siap berangkat ke
mushalla untuk sholat teraweh. Segera aku memanggil adik-adikku dan kakek.
“Putri, Kiki ayo makan dulu”.
Selanjutnya
aku berjalan ke teras rumah, memanggil kakek yang tengah duduk santai sambil
mengisap rokok, bersama segelas teh manis.
“Kakek, ayo makan dulu”
Malam
ini sangat istimewah karena semenjak 1 th yang lalu, aku tidak pernah merasakan
masakan Ibu dan makan bersama seperti ini, dikarenakan merantau ke luar kota
untuk kuliah. Semenjak aku memutuskan untuk kuliah, aku memang jarang pulang,
meskipun liburan akhir semester. Hal ini dikarenakan kesibukan di kampus dan
organisasi.
Aku
rasa malam ini juga malam yang istimewah bagi ibuku, karna malam ini semua
anaknya bisa menemaninya makan malam. Hal ini di karenakan adikku yang nomer
dua, Putri melanjutkan SMP nya di pondok pesantren dan pulang setiap 1 th
sekali di bulan ramadhan.
Hal
ini sangat baik menurutku, karna aku tidak perlu khawatir lagi untuk mengawasi
adik perempuanku, di tengah kenalan remaja saat ini.
Setelah
sholat taraweh di mushalla, kami langsung pulang ke rumah dan melaksanakan
tadarusan di rumah. Hal ini sering kami lakukan dulu, sejak ayah masih ada.
Tiba-tiba
aku jadi teringat akan kenangan itu dan kangen dengan ayah.
“Nak Bagus, selama bulan ramadhan perbanyakla
melakukan ibadah dan berdoa, karena bulan ini adalah bulan yang penuh berkah
dari Allah SWT”.
Selepas
itu kami, hanya ngobrol-ngobrol santai di ruang tamu seluas 4,5m x 3m, yang
tidak terlau luas dan sempit menurut kami. Malam ini ibu banyak memberikan
nasehat bagi aku dan adik-adik.
“Ingat anak-anakku, janganlah kalian sering
melihat ke atas saja, lihatlah juga yang ada di bawah”
Aku
dan adik-adik hanya bisa terdiam mendengar nasehat ibu.
Mungkin
adik-adikku waktu itu belum mengerti apa isi dari nasehat yang di sampaikan
ibu,. Tapi saya mencoba memahami dan mencerna isi nasehat itu, bahwa jangan
pernah iri, minder atau bahkan mengikuti gaya mereka yang secara kelas ekonomi
berada di atas kita. Justru bagaimana kami harus bisa berjuang di tengah
keterbatasan yang ada. Dan bergaya sesuai dengan kapasitas kita.
“Nak bagus, jadi laki-laki itu harus
bertanggung jawab, harus menjaga hati perempuan. Ingat adikmu perempuan dan ibu
juga perempuan”.
“Iya ibu, kalau Ibuku laki-laki gimana dong
pas waktu ngelahirin kami”.
Lantas
ibu menjawab, “Dari bokong”
Kami
tertawa bersama-sama yang lantas membuat ruang tamu jadi ramai.
Tapi
aku terus mencermati dan mencoba memahami setiap apa nasehat dari Ibu. Karna
hanya nasehat dari Ibu yang saat ini bisa saya dengar.
Bahwa
menajdi laki-laki itu harus pertanggung jawab terhadap keluarganya. Harus mampu
memenuhi kebutuhan dari kaluarganya, dan mungkin karna aku belum berkeluarga
mungkin yang menajdi tanggung jawab terbesarku adalah masa depan adik-adikku.
Selain itu laki-laki juga harus menjaga perasaan perempuan, tidak boleh menyakitinya
dan apalagi mencapakaannya.
Sesaat
kemudia terdengar suara gemuruh di luar rumah, pertanda hujan turun. Malampun
menjadi semakin gelap karna tidak ada satu bintangpun diatas sana dan dinginpun
semakin merayap masuk lewat celah-celah rumah sehingga kami memutuskan untuk segera tidur, agar nanti
tidak telat untuk makan sahur.
Malam
ini aku bersyukur pada Allah SWT, atas segala rizki baik umur, waktu,
kesempatan untuk sekedar berkumpul bersama dengan keluarga kecil ini. Semoga
apa yang menjadi nasehat ibu bisa Aku amanahkan.
NOTE:
Cerita
ini untuk kalian yang masih memiliki seorang Ibu dan yang telah di tinggal oleh
Ayah kalian. Jangan pernah putus asa dan tetap yakin “Bahwa Allah SWT memiliki, rencana terbaik di balik semua ini.”
Komentar
Posting Komentar